Selasa, 28 Agustus 2012

Apa Yang Terjadi di Negeriku ?


Aku masih terus sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran yang akan ku bahas satu persatu. Sebenarnya sudah mau pecah otakku memikirkan semua pelajaran-pelajaran ini. Terlebih lagi fisika, ku akui hebat memang Albert Einstein, Thomas Alpha Edison, Alexander Grahambell dan teman-teman ilmuan lainnya yang dapat menciptakan rumus-rumus tanpa bantuan tekhnologi canggih seperti sekarang ini. Walaupun banyak yang mengeluh apabila di sekolah sedang membahas pelajaran tentang rumus yang mereka ciptakan. Ines Fita Marpaung namaku, sekarang aku siswa kelas tiga disebuah SMA Negeri di kotaku. Makanya sekarang aku sedang berusaha keras belajar untuk mendapatkan hasil ujian terbaik nantinya. Seperti yang kukatakan tadi, walaupun rumit aku tetap suka pelajaran fisika, mulai dari rumus-rumusnya yang super ribet, dan pembahasannya yang menurutku sangat pas untuk membuat syaraf otak yang tegang menjadi mengendur. Di sekolah ini aku juga salah satu murid yang di banggakan oleh sekolah karena sering aku memenangkan kejuaraan di bidang SAINS. Intinya, tak ada lagi yang meragukan kemampuanku dibidang intelektual. “Nes, yang ini cemana sih caranya ? kurang ngerti aku tadi waktu ibu itu menjelaskan.” Ujar Lilis teman sebangkuku sambil memperlihatkan satu contoh soal yang tadi baru di bahas. Lilis Safitri namanya, tak jauh beda denganku dia juga termasuk murid yang berprestasi di sekolah ini. Sering aku bersaing dengannya untuk menjadi juara kelas. Tapi hal itu tak membuat kami juga menjadi tak baik dalam berteman, malah kami berdua sangat akrab.  
***
Tak terasa ujian semester ganjil telah tiba, seperti biasa pula aku berusaha yang terbaik agar nilai ujianku memuaskan. Semua berjalan lancar kurasa, tak ada yang terlalu membuat beban. Dan aku juga merasa puas dengan hasil ujianku. Beberapa minggu kemudian pengumuman hasil ujian atau pembagian raportpun tiba. Seperti yang aku duga, hasil ujianku sangat memuaskan karena sekarang aku mendapat rangking pertama di kelas. Tapi, sangat terkejutnya aku karena Lilis tak dipanggil kedepan yang itu artinya dia tak mendapatkan rangking padahal selama dua tahun dia selalu mendapat rangking. Setelah semua acara pembagian raport selesai, aku langsung menemui Lilis. Aku berusaha mencarinya kemana-mana tapi nihil. Tanpa sengaja aku melihat kearah mushollah ternyata Lilis ada disana. Langsung ku hampiri dia. “Lis, disininya kau rupanya ku cariin dari tadi kau kemana-mana sampek capek kakiku ini.” Omelku pada Lilis. “hiks..hiks..” kulihat Lilis yang sedang menangis. “Loh, kenapa kau Lis ? Kok nangis ? Apa karena masalah rangking itu iya ?” kataku bertubi. “hiks.. iya Nes, bukan Cuma itu aja yang lebih buat aku sakit hati ku dengar dari orang-orang sebenarnya aku juga dapat rangking tapi karena ada yang cuci raport makanya aku gak dapet rangking Nes, padahal aku udah berharap kali biar bisa aku masuk jalur undangan itu. Tau sendirilah kau cemana keuangan orang tuaku. Kalok bukan dari undangan mana bisa aku melanjut kuliahku Nes hiks..” Deg.. langsung terkejut aku mendengar penuturan Lilis, sangat mengecewakan. Bagaimana mungkin bisa seperti ini. Orang yang jelas-jelas nilainya tinggi bisa tersingkir karena adanya ‘permainan’ orang-orang yang tidak tau diri. Aku memang sudah tau bahwa sistem cuci raport sudah sangat biasa di sekolah ini. Terlebih para murid yang memang anak orang kaya dan mampu untuk melakukan cuci raport untuk memperbaiki nilainya dengan memberikan imbalan kepada guru yang telah membantunya. Simbiosis Mutualisme memang. Hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Tapi itu untuk mereka tidak untuk Lilis. Tapi sungguh aku tak menyangka akibat dari perbuatan curang mereka menimpa Lilis yang memang aku juga mengakui kemampuannya yang tak lagi diragukan. Sungguh mengecewakan. Mau menjadi apa mereka yang melakukan hal itu bila masih di bangku sekolah saja mereka sudah melakukan kecurangan. Terlebih bila nantinya mereka menjadi pemimpin Negara ini, mau jadi apa nantinya bila yang memimpin saja tidak memiliki kemampuan yang memadai karena mereka hanya mampu mengandalkan duit dan bisa dibilang rata-rata orang yang melakukan kecurangan itu kemampuan intelektual mereka rendah. Aku tidak yakin bahwa nantinya mereka mampu mengikuti pelajaran dengan baik apabila sudah di perguruan tinggi, karena melihat tingkah mereka yang sekarang saja tak pernah serius dalam belajar.
***
Seiring berjalannya waktu akhirnya Lilis dapat menerima kenyataan tersebut. Dia sudah kembali seperti biasa. Belajar dengan giat dan tak pernah mengeluh tentang pelajaran yang dirasa sulit. Kami juga semakin sering belajar bersama mengingat sebentar lagi kami akan melaksanakan Ujian Nasional (UN). Satu bulan sebelum ujian akhirnya kami mengetahui siapa saja yang masuk jalur undangan. Dan sekali lagi, Lilis menangis karena kecewa. Dia tak masuk jalur undangan seperti yang sangat di harapkannya agar dapat melanjutkan kuliah. Dia menangis mendengar hal tersebut. “Udalah Lis, jangan nangis lagi. Kau kan masih bisa mengikuti jalur SNMPTN, jangan kuatir soal biayanya nanti aku akan membantumu sebisaku.” Ucapku sambil menenangkannya. “Jangan sok peduli kau Nes, kau gak tau apa-apa. Kau gak tau apa yang kurasakan. Kau itu enak, bisa kau dapatkan semuanya dan kalaupun kau gak masuk jalur undangan ini kau masih punya orang tua yang banyak duit untuk membiayai kuliahmu. Sedangkan aku, orang tuaku itu orang miskin gak mungkin mereka bisa membiayaiku kuliah. Jadi kalau bukan dari undangan mau dari mana lagi aku berharap ? Dari mana ? Udah, lebih baik pergi kau sana jangan lagi kau jumpai aku !” aku sedikit terkejut dengan perkataan kasar Lilis kepadaku, tapi aku langsung mengerti karena mengingat keadaannya yang masih labil karena kekecewaannya. Aku sendiripun tak habis fikir dengan sistem pendidikan di sekolah ini. Bukankah seharusnya mereka lebih mengutamakan para siswa yang memang berprestasi dan bukannya malah menghancurkan impian mereka dengan kebutaan mata  karena duit. Jika hal ini terus berlanjut mau seperti apa Negara ini karena pemuda dan SDMnya saja tak lagi berkualitas karena semuanya diawali dengan duit dan bukannya karena kemampuan yang dimiliki mereka.
***
Sejak saat itu aku tak lagi melihat Lilis yang selalu bersemangat bila sedang belajar. Sekarang dia lebih terlihat murung dan menjadi pendiam. Kami juga tak lagi duduk sebangku karena dia memutuskan untuk pindah kebangku yang ada dibelakang seorang diri. Aku tak berani untuk mengganggunya, biarlah dia menenangkan dirinya dulu fikirku. Tapi aku takut ini akan mengganggu hasil ujiannya nanti. Tak terasa akhirnya yang kami tunggu-tunggupun tiba. Hari ini adalah hari pertama pelaksanaan UN. Sebelum masuk aku menemui Lilis sebentar untuk sekedar memberi semangat untuknya. “Lis, selamat ujian yah. Semoga nanti hasilnya memuaskan.” Ucapku tulus sembari memberikan senyuman padanya. “Aku gak perlu semangat dari kau, dan jangan sok peduli kau sama aku !” Lilis langsung berlalu dari hadapanku setelah mengucapkan itu. Sedih rasanya melihat Lilis menjadi seperti itu, tapi aku berfikir mungkin lama-kelamaan dia juga akan baik sendiri.

Sebulan telah berlalu setelah UN kami laksanakan. Dan hari ini adalah pengumuman kelulusan kami. Ada sedikit rasa takut juga di dalam hatiku. Takut kalau-kalau nilaiku tak bagus atau malah mungkin aku tak lulus. Ya Allah jangan sampai, amiin. “Alhamdulillah kau lulus nak.” Ucap Mamakku senang sambil memelukku. “Iya Mak, inipun karena Mamak juga yang terus mendukung aku. Terima kasih ya Mak.” Ucapku sambil memeluk Mamakku. Sangat bahagia rasanya karena hari ini aku tidak sekedar lulus, tapi aku lulus dengan predikat nilai terbaik disekolah. “Selamat untuk para siswa-siswi yang lulus dan juga kepada anak kami Ines Fita Marpaung karena mendapat nilai tertinggi tahun ini. Tetapi sayang, ada satu orang teman kalian yang tidak lulus yaitu Lilis Safitri.” Betapa terkejut dan sedihnya aku saat mendengar kepala sekolah berkata demikian. Sungguh tak pernah aku menduga kalau Lilis tak lulus mengingat dia sangat pintar. “Ko, kenapa bisa Lilis gak lulus ? Diakan pintar !” ujarku bertanya pada Ricko teman sekelas Lilis waktu ujian. Ya, aku memang tak sekelas dengan Lilis karena memang nama kami berjauhan. “Cemana mau lulus Nes, ngisi lembar jawaban aja tak semua diisinya. Ntah, gilak mungkin dia itu ! pernahpun sehari dia gak masuk waktu ujian MM, kan udah pesong dia itu.” Sekali lagi aku terkejut dibuat penuturan Ricko yang sangat sulit ku percaya. “yang betullah kau Ko, mana mungkin gak datang dia UN gitu !” kataku berharap Ricko hanya bercanda dengan omongannya tadi. “Ya ampun Nes, sumpah gak bohong aku sama kau. Dia memang gak datang waktu itu.” Sungguh tak habis fikir aku dengan Lilis yang bisa sampai seperti itu. Sedikit kecewa juga aku dengan perbuatan Lilis itu. Tak menyangka aku dia selemah itu.
***
Seminggu setelah pengumuman, aku mendapat SMS dari temanku. Sangat terkejut aku membaca isi dari pesan singkat yang dikirim Ricko. Bagaimana tidak, dalam SMS itu Ricko mengatakan bahwa Lilis telah meninggal karena gantung diri di kamarnya. Tanpa berpikir panjang aku langsung bergegas pergi kerumah Lilis. Ternyata benar apa yang dikatakan Ricko, sesampainya di depan rumah Lilis sudah banyak orang-orang dan teman-temanku di sana. Air mataku sudah mengalir deras di kedua pipiku dan kakiku kurasakan bergetar hebat setelah kudapati Lilis terbujur kaku di balut kain putih disekujur tubuhnya. Sungguh, aku tak menyangka sampai segini dampak dalam hidup Lilis karena ketidak adilan yang diterimanya. Dari kejadian ini, aku berharap semoga tak ada lagi kecurangan yang terjadi di Negara ini. Karena bukankah lebih banyak manfaatnya untuk negeri ini apabila generasi penerus dan SDMnya adalah orang-orang yang berkualitas dan sudah pasti bisa diandalkan untuk mengatur pemerintahan Negara dan memajukan kehidupan bangsa dan Negara. Dan semoga tak ada lagi oknum-oknum yang mau ikut andil dalam kecurangan seperti ini. Semoga saja.

“Kemajuan Suatu Bangsa Ditentukan Oleh Karakter Bangsa Itu Sendiri”



Aku terduduk di bangku kosong yang ada di pinggir jalan di persimpangan menuju rumahku. Sambil memperhatikan setiap kendaraan yang melintas di jalanan. Aku terus memperhatikan kendaraan-kendaraan yang berlewatan, tak jarang pula jilbab ku manari-nari karena tertiup angin yang datang bersama kendaraan yang baru saja melintas di depanku . Beragam bentuknya, mulai dari truk yang besar, motor angkutan umum, mobil pribadi yang kebanyakan adalah milik orang kaya yang terlihat jelas dari merknya, hingga sepeda motor yang ditumpangi oleh seorang laki-laki dan perempuan yang ku fikir mereka adalah sepasang kekasih karena terlihat dari mimik dan gerak tubuh mereka yang memancarkan gurat kebahagiaan yang tercipta seiring kebersamaan mereka. Walaupun sekilas, aku masih bisa melihat bahwa perempuan tadi sangat erat memeluk laki-laki yang tengah menggoncengnya seakan takut dia akan terbang terbawa angin apabila tak berpegangan erat pada laki-laki di depannya. Si laki-lakipun sepertinya sangat menikmati situasi tersebut malah dia juga menambah kecepatan motor yang dibawanya agar perempuan yang tengah di goncengnya semakin erat memeluk tubuh jangkungnya. Aku terus berfikir, di atas kendaraan yang bisa disaksikan banyak orang saja mereka bisa seperti itu apalagi bila mereka sedang berduaan di tempat yang sepi pasti mereka akan melakukan hal-hal yang seharusnya tak pantas mereka lakukan meskipun tanpa komando dari para setan-setan yang akan menghasut fikiran mereka. Hal inilah yang selalu membuatku tak pernah setuju dangan anggapan orang bahwa ‘pacaran’ adalah hal yang lumrah bagi para anak muda jaman sekarang. Menyukai seseorang memang hal yang manusiawi, tapi apa perlu rasa suka tersebut harus diwujudkan dalam bentuk dua orang yang saling menyukai yang akan bisa dan bahkan teramat bisa menjerumuskan keduanya pada perbuatan dosa yang disebut ‘pacaran’. Lalu, apa gunanya ta’aruf yang telah dianjurkan oleh Allah kepada kita semua umat Muslim agar kita dapat saling mengenal tanpa adanya zina atau perbuatan yang akan menjerumuskan sepasang anak manusia kepada kenistaan ? Sungguh, tragis memang fikiran umat manusia zaman sekarang. Mereka tak pernah mau tau dan malah pura-pura tidak tau apa akibat yang akan diterima mereka kelak. Akibat yang akan sangat menyengsarakan kehidupan mereka di masa depan. Dan bila ini semua berlanjut tanpa adanya tindakan untuk menghentikannya, aku yakin Negara inipun akan hancur seiring berjalannya waktu. Bagaimana tidak,para pemuda yang dianggap sebagai penerus bangsa ini saja kehidupannya sudah terlebih dahulu hancur. Jadi, mau bagaimana lagi dia membuat kemajuan di negara ini sedang dirinya saja sudah tak bisa lagi untuk membuat kemajuan dikehidupannya. Tak terasa sudah setengah jam juga aku duduk disini sambil terus menatap para pengguna jalan dengan arah dan tujuan mereka masing-masing hingga sebuah suara mengagetkanku. “Nes, ayo pulang. Udah dari tadi mamak menunggumu di kios seberang sana.” Aku langsung menghampiri mamak ku yang tengah asyik mengomel sendiri karena kesal menungguku. “Iya mak, aku fikir mamak masih lama datang menjemputku, jadi aku putuskan untuk menunggu mamak disini saja.” Kataku jujur.

***
            “Yang Lain Bersandiwara Gue Apa Adanya.” Tanpa sengaja aku membaca iklan rokok tersebut yang ku rasa iklan yang baru mereka munculkan untuk mempromosikan’ dagangan’ mereka. Aku cukup tertarik dengan iklan tersebut, walaupun aku tak begitu mengerti apa maksudnya, tapi yang aku lihat adalah orang-orang yang selalu bersembunyi di balik topeng mereka yang menggambarkan wajah senyum nan ihklas kepada siapa saja yang mereka temui. Disitu tampak seorang pemimpin yang tengah mempromosikan janji-janji palsunya kepada orang-orang yang diharapkannya akan percaya kepadanya. Tetapi sayang, sepertinya orang-orang itupun tak percaya begitu saja kepadanya tampak dari wajah dibalik topeng mereka yang tampak bosan dengan janji-janji palsu para penguasa negeri yang tak pernah bisa dipercaya omongannya.
***
            Tampaknya aku juga sangat setuju dengan iklan rokok tersebut. Sekarang ini memang sulit untuk mencari orang-orang yang bisa dipercaya, terlebih lagi para pemimpim-pemimpin di negeri ini. Walaupun pengetahuanku tentang dunia perpolitikan tak begitu memadai karena akupun tak pernah tertarik untuk menjadi seorang politikus. Mengingat tentang segala kelakuan para pejabat negeri  ini saja sudah sangat sakit rasanya hati ini dengan ketidak adilan yang mereka lakukan kepada rakyat berduit dengan rakyat jelata. Tapi, sedikit banyak aku mengerti dengan permainan skenario dibalik topeng mereka. Saat ini, para pejabat tinggi yang dibilang sebagai pengayom dan wakil rakyat malah membunuh rakyat itu sendiri. Bagaimana tidak, dengan semboyan ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat’ mereka dengan serta merta menyuruh para rakyat yang bahkan mereka tak tau bagaimana keadaan ekonominya untuk membayar iuran Negara dengan segala ancaman apabila mereka lalai membayarnya. Tetapi apa ? uang yang dibilang untuk kepentingan rakyat yang kebanyakan adalah rakyat kecil nyatanya habis digerogoti para petinggi negeri yang tak tau diri. Seperti sekarang contohnya, seorang Gayus Tambunan yang tiba-tiba saja mendadak terkenal dan selalu diperbincangkan orang-orang sebagai seorang mafia pajak karena aksi korupsinya yang tak tanggung-tanggung banyaknya. Tak sampai disitu, aksinya masih berlanjut dengan perginya ia ke Negara tetangga untuk menonton sebuah pertandingan bola dengan menyogok ‘Bapak Polisi’ yang sepertinya memang tak bisa lagi untuk diharapkan tenaganya di Negara ini. Kenapa Pak ? Kurang gajinya ? Noh, nuntut minta sama Presiden, banyak itu duitnya. Keterlaluan memang. Bagaimana bisa seorang polisi yang jelas-jelas diutus untuk mengamankan Negara malah menambah kehancuran Negara ? Sungguh tragis keadaan negeri ini. Tak hanya soal Gayus Tambunan yang telah membuat mumet kepala, masih banyak kasus korupsi lainnya mulai dari Nazaruddin, Nunun, dan yang terakhir yang ku ingat adalah mantan seorang artis yang sangat baik memainkan perannya sebagai seorang pembohong yang sampai-sampai pihak yang berwajib kewalahan menangani aksi sandiwara mereka. Tapi tetap saja, yang banyak duit tetap menang dari orang yang tak berduit. Kenyataannya Gayus hanya dihukum beberapa tahun penjara dan denda yang tak setimpal dengan hasil korupsinya. Tapi, ingat kasus seorang bocah di bawah umur yang hanya mencuri sandal jepit ? mereka seperti menangani kasus yang sama beratnya dengan Gayus tambunan. Mereka memberi hukuman seberat-beratnya karena si anak adalah orang miskin yang tak bisa membeli orang-orang penting yang bisa menyelamatkan dirinya dari hukuman seperti para koruptor. Dan hal itu sudah sangat menunjukkan bagaimana sebenarnya keadilan di negeri ini sekarang.
***
            “korupsi sepertinya sudah sangat mendarah daging di Negara ini anak-anak.” Ya, aku setuju dengan pernyataan guruku barusan. Korupsi memang sudah mendarah daging di Negara ini. Lihat saja, seorang yang dulu juga ikut merasakan bagaimana sakitnya memperjuangkan kemerdekaan Negara ini juga tak luput dari tindak korupsi. Kadang aku berfikir apakah dia tak ihklas menjadi pejuang Negara ini sehingga ia meminta bayaran mahal untuk aksinya di masa lalu dengan cara memakan uang Negara ? Ahh entahlah, aku tak mengerti. Tapi, aku juga sadar. Bahwa tanpa aku sengajapun aku juga sering melakukan ‘korupsi’. Tapi, bukan uang Negara yang ku makan melainkan uang kedua orang tuaku. Sering juga aku memakan uang sekolah yang seharusnya kubayarkan. Tapi bagaimana lagi tuntutan keadaan cuy, namanya juga anak kos, sering kekurangan aku ini, haha… Tapi memang balik lagi, korupsi memang sudah mendarah daging sehingga sulit untuk menghilangkannya. Dan seperti apa Negara ini nantinya bila bangsanya saja sudah hancur begitu sedangkan ‘kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh karakter bangsa itu sendiri.’ Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.  Aku rasa hanya kuasa Tuhan yang akan mampu untuk menghilangkan fikiran itu di negeri ini. Tak tau kapan, tapi aku yakin masa itu akan datang walaupun pada saat kiamat nanti.