Aku masih terus sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran yang
akan ku bahas satu persatu. Sebenarnya sudah mau pecah otakku memikirkan semua
pelajaran-pelajaran ini. Terlebih lagi fisika, ku akui hebat memang Albert Einstein,
Thomas Alpha Edison, Alexander Grahambell dan teman-teman ilmuan lainnya yang
dapat menciptakan rumus-rumus tanpa bantuan tekhnologi canggih seperti sekarang
ini. Walaupun banyak yang mengeluh apabila di sekolah sedang membahas pelajaran
tentang rumus yang mereka ciptakan. Ines Fita Marpaung namaku, sekarang aku
siswa kelas tiga disebuah SMA Negeri di kotaku. Makanya sekarang aku sedang
berusaha keras belajar untuk mendapatkan hasil ujian terbaik nantinya. Seperti
yang kukatakan tadi, walaupun rumit aku tetap suka pelajaran fisika, mulai dari
rumus-rumusnya yang super ribet, dan pembahasannya yang menurutku sangat pas
untuk membuat syaraf otak yang tegang menjadi mengendur. Di sekolah ini aku
juga salah satu murid yang di banggakan oleh sekolah karena sering aku memenangkan
kejuaraan di bidang SAINS. Intinya, tak ada lagi yang meragukan kemampuanku
dibidang intelektual. “Nes, yang ini cemana sih caranya ? kurang ngerti aku
tadi waktu ibu itu menjelaskan.” Ujar Lilis teman sebangkuku sambil memperlihatkan
satu contoh soal yang tadi baru di bahas. Lilis Safitri namanya, tak jauh beda
denganku dia juga termasuk murid yang berprestasi di sekolah ini. Sering aku
bersaing dengannya untuk menjadi juara kelas. Tapi hal itu tak membuat kami
juga menjadi tak baik dalam berteman, malah kami berdua sangat akrab.
***
Tak terasa ujian semester ganjil telah tiba, seperti biasa pula
aku berusaha yang terbaik agar nilai ujianku memuaskan. Semua berjalan lancar
kurasa, tak ada yang terlalu membuat beban. Dan aku juga merasa puas dengan
hasil ujianku. Beberapa minggu kemudian pengumuman hasil ujian atau pembagian
raportpun tiba. Seperti yang aku duga, hasil ujianku sangat memuaskan karena
sekarang aku mendapat rangking pertama di kelas. Tapi, sangat terkejutnya aku
karena Lilis tak dipanggil kedepan yang itu artinya dia tak mendapatkan
rangking padahal selama dua tahun dia selalu mendapat rangking. Setelah semua
acara pembagian raport selesai, aku langsung menemui Lilis. Aku berusaha
mencarinya kemana-mana tapi nihil. Tanpa sengaja aku melihat kearah mushollah
ternyata Lilis ada disana. Langsung ku hampiri dia. “Lis, disininya kau rupanya
ku cariin dari tadi kau kemana-mana sampek capek kakiku ini.” Omelku pada
Lilis. “hiks..hiks..” kulihat Lilis yang sedang menangis. “Loh, kenapa kau Lis
? Kok nangis ? Apa karena masalah rangking itu iya ?” kataku bertubi. “hiks..
iya Nes, bukan Cuma itu aja yang lebih buat aku sakit hati ku dengar dari
orang-orang sebenarnya aku juga dapat rangking tapi karena ada yang cuci raport makanya aku gak dapet
rangking Nes, padahal aku udah berharap kali biar bisa aku masuk jalur undangan
itu. Tau sendirilah kau cemana keuangan orang tuaku. Kalok bukan dari undangan
mana bisa aku melanjut kuliahku Nes hiks..” Deg.. langsung terkejut aku mendengar penuturan Lilis, sangat
mengecewakan. Bagaimana mungkin bisa seperti ini. Orang yang jelas-jelas
nilainya tinggi bisa tersingkir karena adanya ‘permainan’ orang-orang yang
tidak tau diri. Aku memang sudah tau bahwa sistem cuci raport sudah sangat
biasa di sekolah ini. Terlebih para murid yang memang anak orang kaya dan mampu
untuk melakukan cuci raport untuk memperbaiki nilainya dengan memberikan
imbalan kepada guru yang telah membantunya. Simbiosis Mutualisme
memang. Hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Tapi itu untuk mereka
tidak untuk Lilis. Tapi sungguh aku tak menyangka akibat dari perbuatan curang
mereka menimpa Lilis yang memang aku juga mengakui kemampuannya yang tak lagi
diragukan. Sungguh mengecewakan. Mau menjadi apa mereka yang melakukan hal itu
bila masih di bangku sekolah saja mereka sudah melakukan kecurangan. Terlebih
bila nantinya mereka menjadi pemimpin Negara ini, mau jadi apa nantinya bila
yang memimpin saja tidak memiliki kemampuan yang memadai karena mereka hanya
mampu mengandalkan duit dan bisa dibilang rata-rata orang yang melakukan
kecurangan itu kemampuan intelektual mereka rendah. Aku tidak yakin bahwa
nantinya mereka mampu mengikuti pelajaran dengan baik apabila sudah di
perguruan tinggi, karena melihat tingkah mereka yang sekarang saja tak pernah
serius dalam belajar.
***
Seiring berjalannya waktu akhirnya Lilis dapat menerima kenyataan
tersebut. Dia sudah kembali seperti biasa. Belajar dengan giat dan tak pernah
mengeluh tentang pelajaran yang dirasa sulit. Kami juga semakin sering belajar
bersama mengingat sebentar lagi kami akan melaksanakan Ujian Nasional (UN).
Satu bulan sebelum ujian akhirnya kami mengetahui siapa saja yang masuk jalur
undangan. Dan sekali lagi, Lilis menangis karena kecewa. Dia tak masuk jalur
undangan seperti yang sangat di harapkannya agar dapat melanjutkan kuliah. Dia
menangis mendengar hal tersebut. “Udalah Lis, jangan nangis lagi. Kau kan masih
bisa mengikuti jalur SNMPTN, jangan kuatir soal biayanya nanti aku akan
membantumu sebisaku.” Ucapku sambil menenangkannya. “Jangan sok peduli kau Nes,
kau gak tau apa-apa. Kau gak tau apa yang kurasakan. Kau itu enak, bisa kau
dapatkan semuanya dan kalaupun kau gak masuk jalur undangan ini kau masih punya
orang tua yang banyak duit untuk membiayai kuliahmu. Sedangkan aku, orang tuaku
itu orang miskin gak mungkin mereka bisa membiayaiku kuliah. Jadi kalau bukan
dari undangan mau dari mana lagi aku berharap ? Dari mana ? Udah, lebih baik
pergi kau sana jangan lagi kau jumpai aku !” aku sedikit terkejut dengan
perkataan kasar Lilis kepadaku, tapi aku langsung mengerti karena mengingat
keadaannya yang masih labil karena kekecewaannya. Aku sendiripun tak habis
fikir dengan sistem pendidikan di sekolah ini. Bukankah seharusnya mereka lebih
mengutamakan para siswa yang memang berprestasi dan bukannya malah
menghancurkan impian mereka dengan kebutaan mata karena duit. Jika hal ini terus berlanjut mau
seperti apa Negara ini karena pemuda dan SDMnya saja tak lagi berkualitas
karena semuanya diawali dengan duit dan bukannya karena kemampuan yang dimiliki
mereka.
***
Sejak saat itu aku tak lagi melihat Lilis yang selalu bersemangat
bila sedang belajar. Sekarang dia lebih terlihat murung dan menjadi pendiam.
Kami juga tak lagi duduk sebangku karena dia memutuskan untuk pindah kebangku
yang ada dibelakang seorang diri. Aku tak berani untuk mengganggunya, biarlah
dia menenangkan dirinya dulu fikirku. Tapi aku takut ini akan mengganggu hasil
ujiannya nanti. Tak terasa akhirnya yang kami tunggu-tunggupun tiba. Hari ini adalah
hari pertama pelaksanaan UN. Sebelum masuk aku menemui Lilis sebentar untuk
sekedar memberi semangat untuknya. “Lis, selamat ujian yah. Semoga nanti
hasilnya memuaskan.” Ucapku tulus sembari memberikan senyuman padanya. “Aku gak
perlu semangat dari kau, dan jangan sok peduli kau sama aku !” Lilis langsung
berlalu dari hadapanku setelah mengucapkan itu. Sedih rasanya melihat Lilis
menjadi seperti itu, tapi aku berfikir mungkin lama-kelamaan dia juga akan baik
sendiri.
Sebulan telah berlalu setelah UN kami laksanakan. Dan hari ini
adalah pengumuman kelulusan kami. Ada sedikit rasa takut juga di dalam hatiku.
Takut kalau-kalau nilaiku tak bagus atau malah mungkin aku tak lulus. Ya Allah
jangan sampai, amiin. “Alhamdulillah kau lulus nak.” Ucap Mamakku senang sambil
memelukku. “Iya Mak, inipun karena Mamak juga yang terus mendukung aku. Terima kasih
ya Mak.” Ucapku sambil memeluk Mamakku. Sangat bahagia rasanya karena hari ini
aku tidak sekedar lulus, tapi aku lulus dengan predikat nilai terbaik disekolah.
“Selamat untuk para siswa-siswi yang lulus dan juga kepada anak kami Ines Fita
Marpaung karena mendapat nilai tertinggi tahun ini. Tetapi sayang, ada satu
orang teman kalian yang tidak lulus yaitu Lilis Safitri.” Betapa terkejut dan
sedihnya aku saat mendengar kepala sekolah berkata demikian. Sungguh tak pernah
aku menduga kalau Lilis tak lulus mengingat dia sangat pintar. “Ko, kenapa bisa
Lilis gak lulus ? Diakan pintar !” ujarku bertanya pada Ricko teman sekelas
Lilis waktu ujian. Ya, aku memang tak sekelas dengan Lilis karena memang nama
kami berjauhan. “Cemana mau lulus Nes, ngisi lembar jawaban aja tak semua
diisinya. Ntah, gilak mungkin dia itu ! pernahpun sehari dia gak masuk waktu
ujian MM, kan udah pesong dia itu.” Sekali lagi aku terkejut dibuat penuturan
Ricko yang sangat sulit ku percaya. “yang betullah kau Ko, mana mungkin gak datang
dia UN gitu !” kataku berharap Ricko hanya bercanda dengan omongannya tadi. “Ya
ampun Nes, sumpah gak bohong aku sama kau. Dia memang gak datang waktu itu.” Sungguh
tak habis fikir aku dengan Lilis yang bisa sampai seperti itu. Sedikit kecewa
juga aku dengan perbuatan Lilis itu. Tak menyangka aku dia selemah itu.
***
Seminggu setelah pengumuman, aku mendapat SMS dari temanku. Sangat
terkejut aku membaca isi dari pesan singkat yang dikirim Ricko. Bagaimana tidak,
dalam SMS itu Ricko mengatakan bahwa Lilis telah meninggal karena gantung diri
di kamarnya. Tanpa berpikir panjang aku langsung bergegas pergi kerumah Lilis.
Ternyata benar apa yang dikatakan Ricko, sesampainya di depan rumah Lilis sudah
banyak orang-orang dan teman-temanku di sana. Air mataku sudah mengalir deras
di kedua pipiku dan kakiku kurasakan bergetar hebat setelah kudapati Lilis
terbujur kaku di balut kain putih disekujur tubuhnya. Sungguh, aku tak
menyangka sampai segini dampak dalam hidup Lilis karena ketidak adilan yang
diterimanya. Dari kejadian ini, aku berharap semoga tak ada lagi kecurangan
yang terjadi di Negara ini. Karena bukankah lebih banyak manfaatnya untuk
negeri ini apabila generasi penerus dan SDMnya adalah orang-orang yang
berkualitas dan sudah pasti bisa diandalkan untuk mengatur pemerintahan Negara
dan memajukan kehidupan bangsa dan Negara. Dan semoga tak ada lagi oknum-oknum
yang mau ikut andil dalam kecurangan seperti ini. Semoga saja.