“Taaaaarrrrrr..”
“Aduhh… Aku memecahkan
gelas kesayaangan Ibu!! Aduhh gimana ini.. pasti Ibu marah”
“Ada apa Roy?? Apa yang
kamu sembunyikan??/”
“Ibu maaf yaa.. gelasnya
pecah. Tapi Roy enggak sengaja Bu!! Roy minta maaf ya Bu.. nanti Roy ganti yang
baru..!!”
“Iya Ibu maafin dan
enggak usah diganti. Kan masih ada lima lagi.
“Yang bener Bu??”
“Iya!”
“Makasih ya Bu!!
Mmuuaah..”
Roy Wijaya. Anak yang
paling dimanja di antara empat kakaknya. Tapi, Roy tidak pernah merasa manja
kepada mereka, bahkan Roy selalu berusaha untuk mandiri, dan kelak akan
membahagiakan ke dua orang tuanya. Sejak kecil, Roy punya mimpi kalau dewasa
nanti Roy akan mempunyai mobil. Roy ingin sekali liburan ke luar kota bersama
keluarganya. Tapi, itu hanya mimpi, yang belum pasti kebenarannya
Berbeda halnya dengan
Aku. Dari kecil aku sudah terbiasa belajar yang namanya ilmu kemandirian,
karena nenek yang selalu mengajariku dengan kehidupan yang sangat-sangat
sederhana. Aku lebih suka tinggal dengan nenek karena ia adalah seorang
penulis. Sama dengan Aku. Tapi, saat Aku beranjak usia 12 tahun, nenekku
meninggal dan Aku kembali kepada saudara-saudara kandungku.
***
Saat itu, malam minggu
Aku biasa refreshing bersama tiga sahabatku, Cinta. Tidak sengaja mataku melihat
sebuah iklan yang terpampang jelas akan diadakan seminar di Gedung Olahraga di
Kotaku. Tiba-tiba hatiku serius untuk mengikuti seminar itu. Tapi sayang, pada
saat seminar itu Aku tidak datang karena ada les di sekolah. Hmm.. lumayan
hilang kecewaku, walaupun enggak langsung datang ke seminar itu, paling tidak
Aku sudah membaca habis buku-buku yang dibeli sahabat-sahabatku yang mengikuti
seminar itu. Waahh.. keren banget buku-buku itu. Tidak hanya isi bukunya saja
yang membuatku termotivasi. Pengarangnya juga masih sangat muda dan kaya
inspirasi. Namanya Setia Furqan Khalid, S.Pd, C,Ht., CI. Subhanallah sekali.
Mudah-mudahan suatu saat nanti namaku juga akan berganti menjadi Ilham Saputra,
S.Pd, C,Ht., CI. Amiin.
***
“Kakak.. Kakak.. buruan
ya, uda telat ne..!!”
“Iya iya sabar, ini juga
udah siap!”
“Lebih kencang sedikit,
kalau begini satu tahun enggak bakalan nyampek..!!”
“cereweett..
“Anak-anak, mulai
sekarang sayangilah orang tua kalian. Jadilah anak yang paling berbakti kepada
kedua orang tua. Katakanlah pada mereka kalau kalian sangat mencintai karena
Allah. Tentu orang tua kalian sangat bangga kalau memiliki anak-anak soleh
seperti kalian. Mengerti??”
“Mengerti Pak Ustad.”
Jawab anak-anak serempak.
Setelah selesai
pengajian, Aku keburu-buru pulang karena rumahku yang jauh dan langit mulai
megubah warnanya menjadi kehitaman. Roy yang terbonceng kaku hanya memegang
bajuku yang mulai kendor karena takut akan terbang dari duduknya. Awalnya hanya
40 kilometer/jam, tiba-tiba jemariku bergerak hingga mengubah kecepatan menjadi
100 kilometer/jam. Hal ini yang membuatku kehilangan konsentrasi, akhirnya aku
menabrak sebuah pohon yang terpampang jelas di depan mata. Suwer, tidak
sengaja. Rasanya seperti misteri. Ada kekuatan gaib yang mendorongku hingga
menabrak pohon hantu itu. Syukurlah Aku tidak apa-apa, hanya luka ringan yang
membuatku mampu bangkit kembali. Tapi, Roy. Roy harus menjalani masa krisisnya
di rumah sakit akibat kepalanya yang terbentur akar pohon hantu itu.
“Mau gimana lagi!!. Ini
semua sudah takdir Allah. Enggak mungkin kita harus marah kepada anak kita
sendiri.” Ibu cemas dengan keadaan Roy yang belum juga sadarkan diri.
“Saya mengerti Bu, tapi
kalau Ilham membawa motor tidak seperti itu, semuanya enggak akan terjadi.”
Bentakan Kak Ayu mengejutkan banyak orang di rumah sakit.
“Pokoknya tidak ada yang
harus diributkan lagi.”
3 jam kemudian, Roy
tersadar.
“Ibu, maafin Roy. Roy
sudah menyusahkan Ibu..” Roy mengusap air mata yang mengalir di wajah Ibu.
“Roy, Kamu tidak boleh
ngomong begitu. Ini semua sudah kehendak Allah. Kita semua harus sabar..!!”
“Ibu, Roy mencintai Ibu
karena Allah. Roy sangat menyayangi Ibu karena Allah..”
Ibu terus meneteskan Air
matanya. Terharu mendengarkan lisan yang tulus terucap dari hati Roy yang
paling dalam. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang terus mendorongku untuk
meneteskannya. Bersahaja dalam duka.
“Roy, Ibu juga
mencintaimu karena Allah. Ibu bangga sekali punya anak seperti kamu. Kamu akan
segera sembuh dan kita akan pulang dari rumah sakit ini.”
Aku masih ingat hari itu
adalah hari jumat. Hari terakhir Roy di rumah sakit, karena Roy sudah
dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Saat seperti inilah yang Aku
tunggu. Saat semuanya sudah kembali tertawa dan bahagia. Aku rasa ini adalah
saat yang tepat. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu pada Ibuku. Sesuatu yang
sejak pengajian itu sudah Aku simpan dalam memori otakku.
“Ibu, Aku juga mencintai
Ibu karena Allah. Sama seperti Roy mencintai Ibu. Aku minta maaf dari kesalahan
yang membuat Ibu bersedih..”
Ibu mulai meneteskan air
matanya tak kuasa menahan haru kata-kata suci itu. Kemudian Ibu memelukku erat
dan mencium keningku. Kesucian itu pun terjawab dari bibir Ibuku yang ikhlas
dan tersenyum.
“Ibu juga mencintaimu
karena Allah. Ibu berharap suatu saat nanti, kamu juga akan mendapatkan kasih
sayang yang tulus dari anak-anakmu. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar