Minggu, 10 Februari 2013

Cinta karena Allah


“Taaaaarrrrrr..”
“Aduhh… Aku memecahkan gelas kesayaangan Ibu!! Aduhh gimana ini.. pasti Ibu marah”
“Ada apa Roy?? Apa yang kamu sembunyikan??/”
“Ibu maaf yaa.. gelasnya pecah. Tapi Roy enggak sengaja Bu!! Roy minta maaf ya Bu.. nanti Roy ganti yang baru..!!”
“Iya Ibu maafin dan enggak usah diganti. Kan masih ada lima lagi.
“Yang bener Bu??”
“Iya!”
“Makasih ya Bu!! Mmuuaah..”
Roy Wijaya. Anak yang paling dimanja di antara empat kakaknya. Tapi, Roy tidak pernah merasa manja kepada mereka, bahkan Roy selalu berusaha untuk mandiri, dan kelak akan membahagiakan ke dua orang tuanya. Sejak kecil, Roy punya mimpi kalau dewasa nanti Roy akan mempunyai mobil. Roy ingin sekali liburan ke luar kota bersama keluarganya. Tapi, itu hanya mimpi, yang belum pasti kebenarannya
Berbeda halnya dengan Aku. Dari kecil aku sudah terbiasa belajar yang namanya ilmu kemandirian, karena nenek yang selalu mengajariku dengan kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Aku lebih suka tinggal dengan nenek karena ia adalah seorang penulis. Sama dengan Aku. Tapi, saat Aku beranjak usia 12 tahun, nenekku meninggal dan Aku kembali kepada saudara-saudara kandungku.
                                    ***
Saat itu, malam minggu Aku biasa refreshing bersama tiga sahabatku, Cinta. Tidak sengaja mataku melihat sebuah iklan yang terpampang jelas akan diadakan seminar di Gedung Olahraga di Kotaku. Tiba-tiba hatiku serius untuk mengikuti seminar itu. Tapi sayang, pada saat seminar itu Aku tidak datang karena ada les di sekolah. Hmm.. lumayan hilang kecewaku, walaupun enggak langsung datang ke seminar itu, paling tidak Aku sudah membaca habis buku-buku yang dibeli sahabat-sahabatku yang mengikuti seminar itu. Waahh.. keren banget buku-buku itu. Tidak hanya isi bukunya saja yang membuatku termotivasi. Pengarangnya juga masih sangat muda dan kaya inspirasi. Namanya Setia Furqan Khalid, S.Pd, C,Ht., CI. Subhanallah sekali. Mudah-mudahan suatu saat nanti namaku juga akan berganti menjadi Ilham Saputra, S.Pd, C,Ht., CI. Amiin.
                                    ***
“Kakak.. Kakak.. buruan ya, uda telat ne..!!”
“Iya iya sabar, ini juga udah siap!”
“Lebih kencang sedikit, kalau begini satu tahun enggak bakalan nyampek..!!”
“cereweett..

“Anak-anak, mulai sekarang sayangilah orang tua kalian. Jadilah anak yang paling berbakti kepada kedua orang tua. Katakanlah pada mereka kalau kalian sangat mencintai karena Allah. Tentu orang tua kalian sangat bangga kalau memiliki anak-anak soleh seperti kalian. Mengerti??”
“Mengerti Pak Ustad.” Jawab anak-anak serempak.
Setelah selesai pengajian, Aku keburu-buru pulang karena rumahku yang jauh dan langit mulai megubah warnanya menjadi kehitaman. Roy yang terbonceng kaku hanya memegang bajuku yang mulai kendor karena takut akan terbang dari duduknya. Awalnya hanya 40 kilometer/jam, tiba-tiba jemariku bergerak hingga mengubah kecepatan menjadi 100 kilometer/jam. Hal ini yang membuatku kehilangan konsentrasi, akhirnya aku menabrak sebuah pohon yang terpampang jelas di depan mata. Suwer, tidak sengaja. Rasanya seperti misteri. Ada kekuatan gaib yang mendorongku hingga menabrak pohon hantu itu. Syukurlah Aku tidak apa-apa, hanya luka ringan yang membuatku mampu bangkit kembali. Tapi, Roy. Roy harus menjalani masa krisisnya di rumah sakit akibat kepalanya yang terbentur akar pohon hantu itu.
“Mau gimana lagi!!. Ini semua sudah takdir Allah. Enggak mungkin kita harus marah kepada anak kita sendiri.” Ibu cemas dengan keadaan Roy yang belum juga sadarkan diri.
“Saya mengerti Bu, tapi kalau Ilham membawa motor tidak seperti itu, semuanya enggak akan terjadi.” Bentakan Kak Ayu mengejutkan banyak orang di rumah sakit.
“Pokoknya tidak ada yang harus diributkan lagi.”
3 jam kemudian, Roy tersadar.
“Ibu, maafin Roy. Roy sudah menyusahkan Ibu..” Roy mengusap air mata yang mengalir di wajah Ibu. 
“Roy, Kamu tidak boleh ngomong begitu. Ini semua sudah kehendak Allah. Kita semua harus sabar..!!”
“Ibu, Roy mencintai Ibu karena Allah. Roy sangat menyayangi Ibu karena Allah..”
Ibu terus meneteskan Air matanya. Terharu mendengarkan lisan yang tulus terucap dari hati Roy yang paling dalam. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang terus mendorongku untuk meneteskannya. Bersahaja dalam duka.
“Roy, Ibu juga mencintaimu karena Allah. Ibu bangga sekali punya anak seperti kamu. Kamu akan segera sembuh dan kita akan pulang dari rumah sakit ini.”
Aku masih ingat hari itu adalah hari jumat. Hari terakhir Roy di rumah sakit, karena Roy sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Saat seperti inilah yang Aku tunggu. Saat semuanya sudah kembali tertawa dan bahagia. Aku rasa ini adalah saat yang tepat. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu pada Ibuku. Sesuatu yang sejak pengajian itu sudah Aku simpan dalam memori otakku.
“Ibu, Aku juga mencintai Ibu karena Allah. Sama seperti Roy mencintai Ibu. Aku minta maaf dari kesalahan yang membuat Ibu bersedih..”
Ibu mulai meneteskan air matanya tak kuasa menahan haru kata-kata suci itu. Kemudian Ibu memelukku erat dan mencium keningku. Kesucian itu pun terjawab dari bibir Ibuku yang ikhlas dan tersenyum.
“Ibu juga mencintaimu karena Allah. Ibu berharap suatu saat nanti, kamu juga akan mendapatkan kasih sayang yang tulus dari anak-anakmu. Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar